Bagaimana Agar Tidak Speechless Di Depan Anak?

5396a7345fdedfc9b82f4b0d04ab9cdd105499f6.jpeg

Dunia anak-anak adalah dunia yang penuh sensasi setiap hari. Inilah yang mendorongnya untuk selalu bereksplorasi (bertanya dan menemukan jawaban). 

Jika orangtua sanggup memberikan rangsangan (stimulan) yang positif, maka eksplorasinya itu akan mengantarkannya  menjadi anak kreatif, mandiri dan percaya-diri.

Hanya saja, seperti yang kita alami, tidak semua pertanyaan itu dapat kita hadirkan jawabannya. Bagaimana ini? Haruskah kita menyuruhnya diam atau melarangnya bertanya yang aneh-aneh?

Menyuruh diam dan melarang bukanlah stimulan yang positif. Lalu bagaimana agar kita tidak kehabisan kata-kata (speechless) saat dia memberondong kita dengan berbagai pertanyaan yang menghentak, aneh, dan butuh mikir untuk menjawabnya?

Kita memang perlu membuat klasifikasi dari pertanyaan-pertanyaan itu. Terhadap pertanyaan yang memang kita tahu jawabannya, kita perlu menghadirkan jawaban itu sambil mendorong dia untuk mengetahuinya nanti. Tentu bahasanya perlu diolah.

Misalnya dia bertanya tentang hujan dan darimana datangnya. Jika dia belum tahu laut, kita bisa janji nanti akan melihat laut untuk melihat asal-usul hujan. Atau kita perlihatkan tayangan.

Bisa juga kita menjawab dengan cara dan bahasa yang diplomatis jika pertanyaannya tidak mungkin kita kasih tahu jawabannya sekarang ini. Misalnya saat bertanya bagaimana proses adik bisa keluar dari perut ibu. Kita bisa menjawab misalnya atas bantuan dokter.

Untuk pertanyaan yang menggunakan kata “mengapa”,  kita bisa menjawabnya dengan memasukkan konsep Tuhan, baik perintah-Nya atau larangan-Nya. Misalnya bertanya tentang kenapa harus beribadah, kenapa harus ada langit, matahari, dan bintang, atau lainnya.

Bahkan tidak ada salahnya kita mengatakan belum tahu jawabannya atas pertanyaan yang memang kita tidak tahu, lalu berjanji untuk menanyakan kepada ayah, kepada guru atau mencari tahu bersama.

Misalnya saat bertanya tentang kenapa air laut itu biru, kenapa udang berwarna merah, bagaimana kok televisi ada gambarnya, dan lain-lain. “Nanti kita cari tahu dulu ya naaak”, begitu misalnya.

Jika waktunya tidak pas, misalnya kita sibuk atau capek, sementara pertanyaannya terus menghujani, kita bisa katakan agar pertanyaan itu disimpan untuk besok atau kita alihkan perhatiannya dengan memberi aktivitas yang menghibur.

Intinya di sini adalah pemahaman kita dan sikap. Kita perlu memahami bahwa pertanyaan anak itu adalah bagian dari caranya untuk mengenal dunia dengan “apa”, “kenapa”, dan “bagaimana”.

Hampir bisa dipastikan bahwa sepintar apapun kita, tidak bisa kita menjawab semua yang ditanyakan itu. Namun yang dibutuhkan dari kita adalah sikap, yaitu sikap yang mendorong, bukan yang mematahkan atau melarang.

Di sisi lain, ini juga dorongan buat kita untuk menambah informasi dan pengetahuan agar ada yang lebih banyak bisa kita berikan.

Semoga bermanfaat