Kapan Saat Yang Paling Tepat Mengirim Anak ke Luar Negeri

alt-1b.jpg

Bagi sebagian keluarga, menyekolahkan anak ke luar negeri saat ini sudah menjadi pilihan utama. Tren ini dipicu oleh membaiknya pendapatan orangtua dan oleh pertimbangan kualitas pendidikan di sana.

Untuk orang dewasa yang sudah merampungkan S1 di dalam negeri, belajar ke luar itu menjadi langkah komplemen yang paling bagus. Jika kedua pengalaman itu bisa disinergikan, mereka akan menjadi orang global yang tetap berpijak pada budaya lokal. Atau bisa juga menjadi orang yang maju di dunia global dengan membawa budaya lokalnya.

Belajar ke luar negeri juga banyak ditempuh oleh anak-anak yang sudah melewatkan masa remaja di dalam negeri. Dari SD sampai SLTA mereka rampungkan di sini kemudian kuliahnya di luar negeri. Inipun dinilai banyak memiliki keuntungan. Di samping masa studi yang jauh lebih cepat, keuntungan lain adalah penguasaan bahasa, menambah materi akademik, dan wawasan pergaulan.

Pertanyaannya adalah bagaimana kalau ini diterapkan untuk anak-anak yang masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Katakanlah misalnya saja melanjutkan SD di luar negeri setelah menamatkan TK di sini. Adakah dampak psikis yang bisa dijelaskan? Tapi, kalau dilihat dari pendekatan teoritisnya secara umum, memang ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, aspek perkembangan emosi atau kedekatan emosi antara anak dan orangtua. Semua orangtua pasti menginginkan adanya kedekatan emosi yang sehat dengan anaknya. Anak pun begitu. Keinginan ini bisa gagal apabila orangtua ”memaksa” anak untuk mandiri terlalu dini. Jika anak merasa sanggup hidup tanpa ada orangtua di dekatnya, maka kebutuhan emosionalnya terhadap orangtua menjadi berkurang.

Lebih-lebih jika ini ditambah dengan sikap dan kepedulian orangtua yang rendah. Intinya, memaksa anak untuk mandiri terlalu dini, walaupun dengan alasan yang baik, itu sama jeleknya dengan membiarkan anak untuk tidak mandiri dari kecil.

Kedua, aspek kontrol-diri. Tugas orangtua pada anak bukan saja mengembangkan potensinya dengan menyekolahkan anak. Yang tidak kalah pentingnya adalah memfasilitasi perkembangan kemampuan anak dalam mengontrol dirinya. Ini perlu dilakukan dengan penjelasan, pengawasan, dan peneguran.

Ketiga, aspek penanaman nilai. Setiap keluarga pasti punya nilai, entah didasarkan pada nilai agama atau nilai universal. Masa subur untuk penanaman nilai adalah ketika pertumbuhan dan perkembangan anak sedang pesat, yakni saat duduk di SD. Masa ini akan kurang optimal termanfaatkan apabila anak berjauhan dengan orangtua. Nilai berguna sebagai pembimbing si anak. Nilai tidak cukup hanya diajarkan atau diketahui. Nilai hanya bisa ditanamkan.

Hak kita memang untuk menyekolahkan anak ke SD di dalam atau di luar negeri. Tapi, ketiga hal di atas nampaknya perlu kita jadikan bahan pertimbangan yang paling serius. Semoga bermanfaat