Ketika Anak Mengungkapkan Kesukaannya Pada Lawan Jenis

c43c82fbe5ea142b7a61043a07de47c8c9a62071.jpeg

Sikap apa yang perlu kita tunjukkan ketika si anak mengungkapkan rasa sukanya pada lawan jenis?

Jika itu diungkapkan oleh anak yang sudah dewasa, tentu kita punya banyak bahan untuk dibicarakan. Tapi, bagaimana kalau ungkapan itu muncul dari anak kita yang usianya baru menjelang remaja? Apa yang perlu kita tunjukkan?

Kalau melihat bagaimana anak yang seusia itu punya karakteristik perkembangan, maka sikap yang perlu kita tunjukkan adalah menunjukkan respon kita.

Maksudnya, kita tidak memilih untuk mengabaikan atau menganggapnya itu angin lalu. Kenapa? Kalau itu terjadi betulan di belakang kita, bagaimana? Celaka ‘kan?

Tapi, respon seperti apa? Kalau kita memilih untuk melarangnya atau mengingkarinya, itu bertentangan dengan kejadian alamiah yang harus dilewati perkembangan anak kita.

Namun, bila kita memilih respon yang oleh si anak diterjemahkan sebagai sikap yang membolehkan begitu saja, wah ini bisa gawat juga... Seperti kita tahu, bukan hanya di sinetron ternyata ada anak SD/ SMP yang pacarannya melebihi batas.

Secara logika, sikap yang lebih banyak mengundang keamanan adalah memberi pengertian anak sampai dia mengerti batas-batasnya. Fokus kita bukanlah melarang atau membiarkan, melainkan understanding the limit.

Misalnya, kalau sekedar buat obrolan, ya oke lah kita sikapi juga demikian. Tapi, kalau sampai mengarah ke perilaku, nah tentu sikap yang perlu kita tunjukkan tidak bisa lagi ditafsirkan kurang tegas.

Sekali lagi, kita harus bermain dengan batas atau limit. Saat kita memberi pemahaman tentang batas ini, akan sangat bagus kalau kita menggunakan pengalaman pribadi waktu kecil atau pengalaman yang bisa dicerna anak, entah dari tayangan atau berita di masyarakat.

Anak akan terinspirasi oleh pengalaman orangtuanya dalam melewati perkembangan. Tapi, sebisa mungkin pengalaman itu sudah harus kita modifikasi menjadi bahan pelajaran yang bisa dipahami anak.

Memang, ini terkait dengan proses interaksi kita dengan anak selama ini dan nilai-nilai yang kita anut dalam keluarga. Anak yang selama ini sudah terlatih untuk memahami batas, misalnya dengan disiplin atau aturan, akan lebih mudah diberi pemahaman.

Begitu juga dengan nilai. Anak yang dari kecil sudah diajari untuk merasakan nilai-nilai yang dianut keluarga, akan lebih mudah untuk diberi pemahaman soal batas itu.

Memfokus pada memberi pemahaman batas-batas ini menjadi penting supaya pendekatan kita tetap mendorong anak berkembang dengan kenyataan dan keadaannya.

Kalau kita larang karena kita anggap dia anak kecil atau belum bisa apa-apa, seringkali akan bertentangan dengan anggapan anak terhadap dirinya. Anak kita melihat dirinya sebagai calon orang dewasa yang mandiri dan mampu, tidak seperti kita melihat mereka.

Semoga bermanfaat.